Perkembangan Ilmu dan Kebudayaan Nasional
- A. Pendahuluan
- Latar Belakang
- Rumusan Masalah
- Apakah yang dimaksud dengan ilmu, budaya dan kebudayaan nasional?
- Bagaimana peranan ilmu terhadap pengembangan kebudayaan nasional?
- B. Hakikat Ilmu, Budaya dan Kebudayaan Nasional
- Ilmu
- Budaya
- Kebudayan Nasional
- Koentjaningrat
- Ki Hajar Dewantara
- A.L. Kroeber dan C Kluckhohn
Menurut Suseno (1992) kebudayaann nasional adalah gabungan dari kebudayaan daerah yang ada di Negara tersebut. Kebudayaan Nasional Indonesia secara hakiki terdiri dari semua budaya yang terdapat dalam wilayah Republik Indonesia. Tanpa budaya-budaya itu tak ada Kebudayaan Nasional. Itu tidak berarti Kebudayaan Nasional sekadar penjumlahan semua budaya lokal di seantero Nusantara. Kebudayan Nasional merupakan realitas, karena kesatuan nasional merupakan realitas. Kebudayaan Nasional akan mantap apabila di satu pihak budaya-budaya Nusantara asli tetap mantap, dan di lain pihak kehidupan nasional dapat dihayati sebagai bermakna oleh seluruh warga masyarakat Indonesia.
- C. Peranan Ilmu terhadap Kebudayaan Nasional
Talcot Parsons (Suriasumantri, 1990:272) menyatakan bahwa ilmu dan kebudayaan saling mendukung satu sama lain. Dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa di dukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak perkembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaan. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengrauhi jalannya kebudayaan.
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Dalam kerangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunyai peranan ganda (Suriasumantri, 1990:272) yaitu:
- Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional.
- Ilmu merupakan sumber nilai yang meengisi pembentukan watak suatu bangsa.
- Ilmu sebagai suatu cara berpikir
- Ilmu sebagai asas moral
Dua karakteristik yang merupakan asas moral bagi ilmuan antara lain (Suriasumantri, 1990:274) yaitu:
- Meninggikan kebenaraan
- Pengabdian secara universal
Dari karakteristik ilmuan diatas, dapat kita ketahui bahwa ilmu yang merupakan kegiatan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar haruslah terlepas dari pengaruh asing diluar bidang keilmuan (bebas nilai) dan harus memiliki manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas bukan golongan tertentu. Namun dalam hal ini para ilmuan dalam rangka untuk melakukan penelitian tidak dapat terlepas dari nilai-nilai ilahiyah, norma yang berlaku dalam masyarakat dan kondisi budaya agar hasil dari penelitian tersebut tidak mendatangkan kerusakan yang berakibat fatal, baik bagi manusia itu sendiri maupun alam semesata.
- Nilai-nilai ilmiah dan pengembangan kebudayaan nasional
Pada hakikatnya, perkembangan kebudayaan nasional adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional kearah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan asprasi dan tujuan nasional. Proses perkembangan kebudayaan ini pada dasarnya adalah penafsiran kemabli nilai-nilai konvensional agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman serta penumbuhan nilai-nilai bru yang fungsional. Untuk terlaksananya proses dalam pengembangan kebudayaan nasional tersebut maka diperlukan sifat kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian universal.
- Kearah peningkatan peranan keilmuan
- Ilmu merupakan bagian dari kebudayaan dan oleh sebab itu langkah-langkah ke arah peningkatan peranan dan kegiatan keilmuan harus memperhatikan situasi kebudayaan masyarakat kita.
- Ilmu merupakan salah satu cara menemukan kebenaran, disamping itu masih terdapat cara-cara lain yang sah sesuai dengan lingkup pendekatan dan permasalahannya masing-masing. Pendewaan terhadap akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran harus dihindarkan.
- Meninggikan integritas ilmuan dan lembaga. Dalam hal ini modus operandinya adalah melaksanakan dengan konsekuen kaidah moral dari keilmuan.
- Pendidikan keilmuan harus sekaligus dikaitkan denga pendidikan moral.
- Pengembangan bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat terutama yang menyangkut keilmuan.
- Kegiatan ilmiah haruslah bersifat otonom yang terbebas dari kekangan struktur kekuasaan.
Sedangkan menurut Ardi (dalam Ihsan, 2010:251) langkah-langkah yang sistematik dalam mengembangkan kebudayaan sebagai berikut:
- Ilmu dan kegiatan ilmuwan disesuaikan dengan kebudayaan yang ada dalam masyarakat kita, dengan pendekatan eddukatif dan persuasif dan menghindari konflik-konflik, bertitik tolak dari reinterpretasi nilai yang ada dalam argumentasi keilmuwan.
- Menghindari scientisme dan pendasaran terhadap akal sebagai satu-satunya kebenaran.
- Meningkatkan integritas ilmuwan dan lembaga keilmuwan dan melaksanakan dengan konsekuen kaidah moral kegiatan keilmuwan.
- Pendidikan keilmuwan sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral. Etika dalam kegiatan keilmuwan mempunyai kaidah imperatif.
- Pengembangan ilmu disertai pengembangan bidang filsafat. Filsafat ilmu hendaknya diberikan di pendidikan tinggi . Walaupun demikian kegiatan ilmiah tidak lepas dari kontrol pemerintah dan kontrol masyarakat.
Ilmuan-Pengarang terkenal CP. Snow dalam bukunya yang sangat provokatif The Two Culture mengingatkan Negara-negara barat akan adanya dua pola kebudayaan dalam tubuh mereka yakni masyarakat ilmuan dan non ilmuan yang menghambat kemajuan di bidang ilmu dan teknologi. Analogi ini dapat diterapkan pula di Negara kita, akan lebih jauh lagi dimana dalam bidang keilmuan itu sendiri di Negara kita telah mengalami polarisasi dan membentuk kebudayaan sendiri. Polarisasi ini didasarkan kepada kecenderungan beberapa kalangan tertentu untuk memisahkan ilmu kedalam dua golongan yakni ilum-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial (Suriasumantri, 1990:275). Memang tidak dapat dielak bahwa terdapat perbedaan antara ilmu alam dan ilmu sosial, namun perbedaan ini tidak mengarah kepada perbedaan yang fundamental. Dasar epistimologi dan aksiologi kedua ilmu tersebut sama, metode yang dipergunakan untuk mendapatkan ilmu tersebut juga menggunakan metode ilmiah yang sama.
Dalam hal ini objek (ontology) dari masing-masing ilmu terebut yang berbeda. Objek Ilmu Pengetahuan alam adalah alam semesta seperti gejala fisika, reaksi kimia, anatomi tubuh manusia, hewan dan tumbuhan dan lain sebagainya. Sementara yang menjadi objek dari ilmu pengetahuan social adalah perilaku manusia baik dia sebagai individu maupun sebagai manusia sosial, sistem kehidupan yang berlaku dan lain sebagainya. Walaupun perbedaan ini terdapat pada perbedaan objek (ontologi) ilmu atau objek yang diteliti, ini tidak seharusnya menjadi jurang pemisah antara ilmu-ilmu itu sendiri.
Namun secara teknis dapat kita lihat bahwa ilmu-ilmu alam mempelajari dunia fisik yang relatif tetap dan pasti dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial yang menjadikan mansuia sebagai objek penelaahan. Manusia memiliki satu karakteristik yang unik yang membedakan dia dengan wujud yang lain. Manusia mempunyai kemampuan untuk belajar, dan dengan faktor inilah dia mampu mengembangkan kebudayaan dari waktu ke waktu. Perbedaan variasi karakter ini tidak hanya dari segi waktu saja namun perbedaan daerah juga menyebabkan perbedaan kebudayaan. Dengan perbedaan ini tidak menjadi jurang pemisah antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena tujuan dari ilmu adalah mencari penjelasan dari gejala-gejala yang kita temukan yang memungkinkan kita mengetahui sepenuhnya hakikat objek yang kita hadapi. Hal ini berlaku bagi ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial (Suriasumantri, 1990:282).
Adanya dua kebudayaan yang terbagi ke dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ini masih terdapat di Indonesia. Hal ini dicerminkan dengan adanya jurusan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya dalam sistem pendidikan kita, ini dapat kita lihat pada penjurusan kelas siswa di Sekolah Menengah Atas dan di perguruan tinggi. Jika kita menginginkan kemajuan dalam bidang keilmuan yang mencakup baik ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam, maka dualisme kebudayaan ini harus dibongkar. Adanya pembagian jurusan ini merupakan hambatan psikologis dan intelektual bagi pengembangan keilmuan di negara kita. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jurusan pasti (alam) dianggap lebih mempunyai prestise dibandingkan dengan jurusan sosial. Hal ini akan menyebabkan mereka mempunyai minat dan bakat di bidang ilmu-ilmu sosial akan terbujuk memilih jurusan ilmu-ilmu alam karena alasan sosial-psikologis.
Di pihak lain mereka yang terkotak dalam jurusan sosial-budaya dalam proses pendidikannya kurang mendapatkan bimbingan yang cukup tentang pengetahuan matematikanya untuk menjadi ilmuan yang handal di bidangnya, karena mereka menganggap bahwa matematikan bukan merupakan bagian dari ilmu sosial.
Suatu usaha yang fundamental dan sistematis dalam menghadapi masalah ini perlu diusahakan. Adanya dua pola kebudayaan dalam bidang keilmuan kita, bukan saja merupakan sesuatu yang regresif melainkan juga destruktif, bukan saja bagi keilmuan itu sendiri, melainkan juga bagi pengembangan peradaban secara keseluruhan.
0 komentar:
Posting Komentar