Pages

Kamis, 21 Februari 2013

perkembangan ilmu dan budaya nasional

Perkembangan Ilmu dan Kebudayaan Nasional 

 

  1. A.    Pendahuluan
    1. Latar Belakang
Ilmu dan kebudayaan keduanya memiliki keterkaitan karena saling mempengaruhi. Keduanya juga memiliki kaitan erat dengan manusia, karena manusia inilah yang membentuk kebudayaan, merumuskan ilmu dan menciptakan teknologi, serta mengembangkannya, karena manusia mempunyai akal dan bahasa. Antara manusia dan ilmu keduanya memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Manusia yang merumuskan dan mengembangkan ilmu. Adapun sumbangan ilmu bagi manusia adalah ilmu sebagai suatu cara berpikir atau pola pikir manusia, sarana menemukan kebenaran dan ilmu digunakan sebagai sistem nilai dan moral. Selain itu ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.Kebudayaan terbentuk dalam masyarakat, artinya manusialah yang membentuk kebudayaan. Adapun sumbangan kebudayaan bagi manusia adalah kebudayaan secara umum akan memengaruhi manusia yang ada di dalamnya, karena dalam kebudayaan terdapat garis-garis pokok tentang perilaku atau blueprint of behavior. Suatu masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakatnya.

  1. Rumusan Masalah
    1. Apakah yang dimaksud dengan ilmu, budaya dan kebudayaan nasional?
    2. Bagaimana peranan ilmu terhadap pengembangan kebudayaan nasional?

  1. B.     Hakikat Ilmu, Budaya dan Kebudayaan Nasional
    1. Ilmu
Istilah ilmu diambil dari bahasa inggris science, yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari dan mengetahui. Menurut The liang Gie (dalam Ihsan, 2010:108) ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.

  1. Budaya
Kata kebudayaan berasal dari kata sanskerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal (Ihsan, 2010:245). Dengan demikian  ke-budaya-an dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
  1. Kebudayan Nasional
Definisi kebudayaan dari para ahli sangat beragam, sehingga pemilihan definisi kebudayaan yang tepat sangat sulit. Berikut ini beberapa pengertian kebudayaan dari para ahli (Ihsan, 2010:246):
  1. Koentjaningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
  1. Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapaikeselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
  1. A.L. Kroeber dan  C Kluckhohn
A.L. Kroeber dan  C Kluckhohn dalam bukunya culture, A Critical review of conceps and definisions mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi atau penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya.
Menurut Suseno (1992) kebudayaann nasional adalah gabungan dari kebudayaan daerah yang ada di Negara tersebut. Kebudayaan Nasional Indonesia secara hakiki terdiri dari semua budaya yang terdapat dalam wilayah Republik Indonesia. Tanpa budaya-budaya itu tak ada Kebudayaan Nasional. Itu tidak berarti Kebudayaan Nasional sekadar penjumlahan semua budaya lokal di seantero Nusantara. Kebudayan Nasional merupakan realitas, karena kesatuan nasional merupakan realitas. Kebudayaan Nasional akan mantap apabila di satu pihak budaya-budaya Nusantara asli tetap mantap, dan di lain pihak kehidupan nasional dapat dihayati sebagai bermakna oleh seluruh warga masyarakat Indonesia.

  1. C.    Peranan Ilmu terhadap Kebudayaan Nasional
Dalam pengembangan kebudayaan nasional nilai kritis, rasional, logis, objektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan mengabdi secara nasional sangat diperlukan. Dalam menghadapi dunia modern sekarang ini diperlukan cara-cara yang terkandung dalam nilai-nilai ilmiah. Pengembangan kebuyaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari  kebudayaan yang sekarang bersifat konnvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi tujuan nasional.
Talcot Parsons (Suriasumantri, 1990:272) menyatakan bahwa ilmu dan kebudayaan saling mendukung satu sama lain. Dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa di dukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak perkembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaan. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengrauhi jalannya kebudayaan.
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Dalam kerangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunyai peranan ganda (Suriasumantri, 1990:272) yaitu:
  1. Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan    kebudayaan nasional.
  2. Ilmu merupakan sumber nilai yang meengisi pembentukan watak suatu bangsa.
Dalam perkembangan zaman yang begitu cepat, terkadang ilmu dikaitkan dengan teknologi. Kebudayaan kita tak terlepas dari teknologi. Namun sayangnya yang memiliki pengaruh yang dominan pada kebudayaan adalah teknologi, padahal teknologi adalah buah/produk kegiatan ilmiah. Sedangkan ilmu sendiri yang merupakan sumber nilai yang konstruktif memiliki ruang yang sempit dalam pengembangan kebudayaan nasional. Maka dari itu, pemahaman terhadap hakikat ilmu perlu dijadikan fokus pembicaraan dalam rangka untuk mengembangkan kebudayaan nasional, setelah itu baru dibahas mengenai langkah-langkah apa yang akan ditempuh untuk meningkatkan peranan keilmuan dalam pengembangan kebudayaan nasional.
  1.  Ilmu sebagai suatu cara berpikir
Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian juga ilmu bukan satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu merupakan produk dari hasil proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah merupakan proses berpikir/ pengembangan pikiran yang tersusun secara sistematis yang berdasarkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang sudah ada.
  1. Ilmu sebagai asas moral
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi matahari, yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564-1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata surya yang akhirnya harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasioning adalah proses dimana tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau menyalahi standar moral. Kriterianya: Logis, bukti nyata yang digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya (http://scribd.com.FilsafatIlmu_dan_MetodeRiset)
Dua karakteristik yang merupakan asas moral bagi ilmuan antara lain (Suriasumantri, 1990:274) yaitu:
  1. Meninggikan kebenaraan
Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, atau secara lebih sederhana, ilmu bertujuan untuk mendapatkan kebenaran. Kriteria kebenaran ini pada hakikatnya bersifat otonom dan terbebas dari struktur kekuasaan diluar bidang keilmuan. Ini artinya, untuk mendapatkan suatu pernyataan benar atau salah seorang ilmuan harus terbebas dari intervensi pihak lain diluar bidang keilmuan.
  1. Pengabdian secara universal
Seorang ilmuan tidak mengabdi pada golongan tertentu, penguasa, partai politik ataupun yang lainnya. Akan tetapi seorang ilmuan harus mengabdi untuk kepentingan khalayak ramai.
Dari karakteristik ilmuan diatas, dapat kita ketahui bahwa ilmu yang merupakan kegiatan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar haruslah terlepas dari pengaruh asing diluar bidang keilmuan (bebas nilai) dan harus memiliki manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas bukan golongan tertentu. Namun dalam hal ini para ilmuan dalam rangka untuk melakukan penelitian tidak dapat terlepas dari nilai-nilai ilahiyah, norma yang berlaku dalam masyarakat dan kondisi budaya agar hasil dari penelitian tersebut tidak mendatangkan kerusakan yang berakibat fatal, baik bagi manusia itu sendiri maupun alam semesata.
  1.  Nilai-nilai ilmiah dan pengembangan kebudayaan nasional
Nilai yang terpancar dari hakikat keilmuan yakni, kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian universal (Suriasumantri, 1990:275).
Pada hakikatnya, perkembangan kebudayaan nasional adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional kearah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan asprasi dan tujuan nasional. Proses perkembangan kebudayaan ini pada dasarnya adalah penafsiran kemabli nilai-nilai konvensional agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman serta penumbuhan nilai-nilai bru yang fungsional. Untuk terlaksananya proses dalam pengembangan kebudayaan nasional tersebut maka diperlukan sifat kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian universal.
  1. Kearah peningkatan peranan keilmuan
Berdasarkan pada penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa ilmu memiliki peran dalam mendukung perkembangan kebudayaan nasional. Diperlukan langkah-langkah yang sistemik dan sistematik untuk meningkatkan peranan dan kegiatan keilmuan dalam peerkembangan kebudayaan nasional yang pada dasarnya mengandung beberapa pemikiran sebagaimana tercakup di bawah ini (Suriasumantri, 1990:278), antara lain:
  1. Ilmu merupakan bagian dari kebudayaan dan oleh sebab itu langkah-langkah ke arah peningkatan peranan dan kegiatan keilmuan harus memperhatikan situasi kebudayaan masyarakat kita.
  2. Ilmu merupakan salah satu cara menemukan kebenaran, disamping itu masih terdapat cara-cara lain yang sah sesuai dengan lingkup pendekatan dan permasalahannya masing-masing. Pendewaan terhadap akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran harus dihindarkan.
  3. Meninggikan integritas ilmuan dan lembaga. Dalam hal ini modus operandinya adalah melaksanakan dengan konsekuen kaidah moral dari keilmuan.
  4. Pendidikan keilmuan harus sekaligus dikaitkan denga pendidikan moral.
  5. Pengembangan bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan   dalam bidang filsafat terutama yang menyangkut keilmuan.
  6. Kegiatan ilmiah haruslah bersifat otonom yang terbebas dari kekangan struktur kekuasaan.

Sedangkan menurut Ardi (dalam Ihsan, 2010:251) langkah-langkah yang sistematik dalam mengembangkan kebudayaan sebagai berikut:
  1. Ilmu dan kegiatan ilmuwan  disesuaikan dengan kebudayaan yang ada dalam masyarakat kita, dengan pendekatan eddukatif dan persuasif dan menghindari konflik-konflik, bertitik tolak dari reinterpretasi nilai yang ada dalam argumentasi keilmuwan.
  2. Menghindari scientisme dan pendasaran terhadap akal sebagai satu-satunya kebenaran.
  3. Meningkatkan integritas ilmuwan dan lembaga keilmuwan dan melaksanakan dengan konsekuen kaidah moral kegiatan keilmuwan.
  4. Pendidikan keilmuwan sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral. Etika dalam kegiatan keilmuwan mempunyai kaidah imperatif.
  5. Pengembangan ilmu disertai pengembangan bidang filsafat. Filsafat ilmu hendaknya diberikan di pendidikan tinggi . Walaupun demikian kegiatan ilmiah tidak lepas dari kontrol pemerintah dan kontrol masyarakat.
Namun ini bukan berarti kegiatan keilmuan harus bebas dari sistem kehidupan. Seorang ilmuan tidak akan terlepas dari kehidupan sosial, ideology dan agama, walaupun tidak mengikat namun seorang ilmuan harus memperhatikan norma-norma yang berlaku pada masing daerah.
Ilmuan-Pengarang terkenal CP. Snow dalam bukunya yang sangat provokatif The Two Culture mengingatkan Negara-negara barat akan adanya dua pola kebudayaan dalam tubuh mereka yakni masyarakat ilmuan dan non ilmuan yang menghambat kemajuan di bidang ilmu dan teknologi. Analogi ini dapat diterapkan pula di Negara kita, akan lebih jauh lagi dimana dalam bidang keilmuan itu sendiri di Negara kita telah mengalami polarisasi dan membentuk kebudayaan sendiri. Polarisasi ini didasarkan kepada kecenderungan beberapa kalangan tertentu untuk memisahkan ilmu kedalam dua golongan yakni ilum-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial (Suriasumantri, 1990:275). Memang tidak dapat dielak bahwa terdapat perbedaan antara ilmu alam dan ilmu sosial, namun perbedaan ini tidak mengarah kepada perbedaan yang fundamental. Dasar epistimologi dan aksiologi kedua ilmu tersebut sama, metode yang dipergunakan untuk mendapatkan ilmu tersebut juga menggunakan metode ilmiah yang sama.
Dalam hal ini objek (ontology) dari masing-masing ilmu terebut yang berbeda. Objek Ilmu Pengetahuan alam adalah alam semesta seperti gejala fisika, reaksi kimia, anatomi tubuh manusia, hewan dan tumbuhan dan lain sebagainya. Sementara yang menjadi objek dari ilmu pengetahuan social adalah perilaku manusia baik dia sebagai individu maupun sebagai manusia sosial, sistem kehidupan yang berlaku dan lain sebagainya. Walaupun perbedaan ini terdapat pada perbedaan objek (ontologi) ilmu atau objek yang diteliti, ini tidak seharusnya menjadi jurang pemisah antara ilmu-ilmu itu sendiri.
Namun secara teknis dapat kita lihat bahwa ilmu-ilmu alam mempelajari dunia fisik yang relatif tetap dan pasti dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial yang menjadikan mansuia sebagai objek penelaahan. Manusia memiliki satu karakteristik yang unik yang membedakan dia dengan wujud yang lain. Manusia mempunyai kemampuan untuk belajar, dan dengan faktor inilah dia mampu mengembangkan kebudayaan dari waktu ke waktu. Perbedaan variasi karakter ini tidak hanya dari segi waktu saja namun perbedaan daerah juga menyebabkan perbedaan kebudayaan. Dengan perbedaan ini tidak menjadi jurang pemisah antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena tujuan dari ilmu adalah mencari penjelasan dari gejala-gejala yang kita temukan yang memungkinkan kita mengetahui sepenuhnya hakikat objek yang kita hadapi. Hal ini berlaku bagi ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial (Suriasumantri, 1990:282).
Adanya dua kebudayaan yang terbagi ke dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ini masih terdapat di Indonesia. Hal ini dicerminkan dengan adanya jurusan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya dalam sistem pendidikan kita, ini dapat kita lihat pada penjurusan kelas siswa di Sekolah Menengah Atas dan di perguruan tinggi. Jika kita menginginkan kemajuan dalam bidang keilmuan yang mencakup baik ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam, maka dualisme kebudayaan ini harus dibongkar. Adanya pembagian jurusan ini merupakan hambatan psikologis dan intelektual bagi pengembangan keilmuan di negara kita. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jurusan pasti (alam) dianggap lebih mempunyai prestise dibandingkan dengan jurusan sosial. Hal ini akan menyebabkan mereka mempunyai minat dan bakat di bidang ilmu-ilmu sosial akan terbujuk memilih jurusan ilmu-ilmu alam karena alasan sosial-psikologis.
Di pihak lain mereka yang terkotak dalam jurusan sosial-budaya dalam proses pendidikannya kurang mendapatkan bimbingan yang cukup tentang pengetahuan matematikanya untuk menjadi ilmuan yang handal di bidangnya, karena mereka menganggap bahwa matematikan bukan merupakan bagian dari ilmu sosial.
Suatu usaha yang fundamental dan sistematis dalam menghadapi masalah ini perlu diusahakan. Adanya dua pola kebudayaan dalam bidang keilmuan kita, bukan saja merupakan sesuatu yang regresif melainkan juga destruktif, bukan saja bagi keilmuan itu sendiri, melainkan juga bagi pengembangan peradaban secara keseluruhan.

0 komentar:

Posting Komentar